Perang Aceh: Perlawanan Rakyat Aceh Terhadap Belanda (Perjuangan Cut Nyak Dien)

Perlawanan gigih terhadap penjajahan Belanda juga dilakukan oleh rakyat Aceh dalam Perang Aceh. Perang ini berlangsung pada 1873-1912. Perang Aceh terjadi karena keinginan pemerintah kolonial untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara dilawan oleh rakyat Aceh.

Rakyat Aceh tidak menginginkan daerah mereka diduduki oleh penjajah. Mereka memiliki kebanggaan atas kerajaan mereka yang telah berdiri sejak berabad-abad lalu. Terutama, pada zaman kejayaan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang tetap berdiri pada abad ke-18 dan 19 sampai abad ke-20.

Penyebab Terjadinya Perang Aceh

Penyebab terjadinya Perang Aceh, antara lain karena pemerintah kolonial ingin menguasai Aceh sebagai kerajaan yang kuat dan memiliki kemampuan diplomatik tinggi.

Pemerintah kolonial melihat bahwa Traktat London tahun 1824 dan Traktat Sumatra tahun 1871 yang ditandatangani antara Belanda dan Inggris telah memberi kedudukan yang kuat pada Aceh.

Oleh karena itu, dapat menjadi ancaman bagi kedudukan pemerintah Hindia Belanda. Kekhawatiran tersebut terbukti setelah Aceh mampu menjalin hubungan diplomatik dengan banyak negara.

Hal itu mulai mencemaskan Belanda. Belanda merasa takut disaingi dan mulai menuntut Aceh untuk mengakui kedaulatan Belanda di Nusantara.

Penolakan rakyat Aceh terhadap tuntutan Belanda mendorong Belanda untuk mengirimkan pasukannya ke Kutaraja, ibu kota Kerajaan Aceh pada April 1873.

Namun, usaha untuk menguasai Aceh mengalami kegagalan. Bahkan Mayor Jenderal Kohler, pemimpin pasukan Belanda tewas di depan Mesjid Raya Aceh. Demikian juga serangan pada Desember 1873 dapat dipatahkan oleh rakyat Aceh.

Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan Jenderal van Swieten hanya berhasil merebut istana Kerajaan Aceh dan tidak dapat menguasai seluruh Aceh. Perlawanan rakyat Aceh terus berlangsung, walaupun istana kesultanan di Kutaraja direbut oleh Belanda.

Snouck Hurgronje: Strategi Baru Belanda Melawan Rakyat Aceh

Melihat gigihnya perlawanan rakyat Aceh, Belanda mengubah strategi perang dengan pendekatan sosial budaya.

Caranya dengan mengirimkan Snouck Hurgronje, seorang ahli kajian Islam untuk menyelidiki masyarakat Aceh dan memberi masukan kepada pemerintah kolonial tentang strategi menguasai rakyat Aceh.
Christian Snouck Hurgronje
Gambar: Christian Snouck Hurgronje

Hurgronje menyarankan agar pemerintah kolonial memahami karakter masyarakat Aceh sambil melakukan serangan kepada para pemimpin Aceh.

Berdasarkan saran tersebut pemerintah kolonial menugaskan van der Heyden untuk memimpin pasukan dalam melakukan serangan ke Aceh Besar, salah satu kota pusat perjuangan rakyat Aceh.

Melalui serangan tersebut, pada 1891, salah seorang pemimpin Aceh, Teuku Cik Ditiro gugur. Selanjutnya pada 1893, Teuku Umar ditawan dan kemudian ia berhasil meloloskan diri pada Maret 1896.

Setelah bergabung kembali dengan sisa-sisa pasukannya, ia gugur di Meulaboh pada 11 Februari 1899. Pemimpin lainnya, seperti Sultan Daudsyah dan Panglima Polim terus melakukan perlawanan sampai akhimya mereka dipaksa menyerah oleh Belanda.

Perjuangan Cut Nyak Dien

Ternyata, gugurnya para pemimpin perjuangan Aceh tidak menyurutkan rakyat Aceh dalam melakukan serangan. Pemimpin Aceh lainnya, seperti Tjut Nyak Dien, istri Teuku Umar terus berjuang dan melakukan perang gerilya.

Bersama para pengikutnya, ia melakukan perlawanan terhadap Belanda sampai akhirnya terpaksa menyerah pada 1905.

Demikian juga pejuang wanita lainnya, seperti Tjut Nyak Meutia terus melakukan perlawanan gerilya sampai ia gugur pada 1910.

Perang Aceh terus berlangsung sampai tahun 1912 melalui serangan gerilya yang tidak terorganisir. Namun, Perang Aceh telah menunjukkan kepada Belanda bahwa rakyat Aceh tidak suka dengan penjajahan yang memaksakan nilai-nilai yang bertentangan dengan adat istiadat Aceh.

0 Response to "Perang Aceh: Perlawanan Rakyat Aceh Terhadap Belanda (Perjuangan Cut Nyak Dien)"

Post a Comment