Perang Bali (Perang Puputan Margarana): Perlawanan Rakyat Bali Terhadap Penjajah Belanda

Di Bali, perlawanan rakyat untuk mengusir Belanda dari daerahnya dikenal dengan Perang Puputan. Perang itu ditandai dengan pengorbanan yang luar biasa dari seluruh rakyat yang cinta daerahnya, baik pengorbanan nyawa maupun materi.

Perang Puputan dilakukan olah rakyat Bali demi mempertahankan daerah mereka dari pendudukan pemerintah kolonial Belanda.

Rakyat Bali tidak ingin Kerajaan Klungkung yang telah berdiri sejak abad ke -9 dan telah mengadakan perjanjian dengan Belanda tahun 1841 di bawah pemerintahan Raja Dewa Agung Putra diduduki oleh Belanda.
Raja Dewa Agung Putra
Gambar: Raja Dewa Agung Putra

Sikap pantang menyerah rakyat Bali dijadikan alasan oleh pemerintah Belanda untuk menyerang Bali. Pada 1844, perahu dagang milik Belanda terdampar di Prancak, wilayah Kerajaan Buleleng dan terkena Hukum Tawan Karang.

Hukum tersebut memberi hak kepada penguasa kerajaan untuk menguasai kapal yang terdampar beserta isinya. Dengan kejadian itu, Belanda memiliki alasan kuat untuk melakukan serangan ke Kerajaan Buleleng pada 1848. Namun, rakyat Buleleng dapat menangkis serangan tersebut.

Akan tetapi, pada serangan yang kedua pada 1849, pasukan Belanda yang dipimpin Jenderal Mayor A.V. Michies dan Van Swieeten berhasil merebut benteng pertahanan terakhir Kerajaan Buleleng di Jagaraga.

Dengan serangan besar-besaran, rakyat Bali membalasnya dengan perang habis-habisan guna mempertahankan harga diri sebagai orang Bali.

Pertempuran untuk mempertahankan Buleleng itu dikenal dengan Puputan Jagaraga. Puputan lainnya, yaitu Puputan Badung (1906), Puputan Kusamba (1908), dan Puputan Klungkung (1908).

0 Response to "Perang Bali (Perang Puputan Margarana): Perlawanan Rakyat Bali Terhadap Penjajah Belanda"

Post a Comment